Selasa, 13 Mei 2008

resepsi sastra, teori sastra II

bagaimana teks bermakna bagi pembaca

Teks sastra bukanlah sarana yang statis untuk mengungkapkan keindahan yang permanen melainkan sebuah konstruksi bahasa yang menghimbau tanggapan pembaca dan harus diterima sedemikian rupa. Tynjanov menekankan differential quality ‘kualitas pembeda’ suatu karya sastra, yakni potensi-potensinya untuk mendeotomasisasikan cqra-cara yang sudah usang tentang ekspresi dan observasi, baik yang ada di dalam maupun di luar rangkaian sastra (Tynjanov,1927). Tynjanov menerima bahwa “sarana sastra, yang tampaknya mendasar dan utama, (kenyataannya) secara terus-menerus berubah dan tidak memberi cirri seperti itu. Ini juga mengimplikasikan konsep estetis dalam arti beautiful ‘keindahan’ (…). Sastra merupakan konstruksi bahasa yang dialami hanya sebagai konstruksi. Jadi, sastra merupakan sebuah konstruksi bahasa yang dinamik”.

Strukturalisme Praha menggambarkan sastra sebagai suatu proses komunikasi, sebagai suatu dialog yang terus-menerus antara pengarang dan pembaca. Sebuah teks bukan ekspresi langsung tentang kejiwaan pengarang dan bukan pula refleksi kejiwaan pembaca. Meskipun dalam proses komunikasi adalah sentral dan merdeka, teks kehilangan karakter absolutnya, yakni formal yang ditetapkan selamanya (Gunther, 1972:291).

Mukarovsky membedakan antara artefact dan esthetic object (Mukarovsky, 1936:74). “Artefak” merupakan dasar material objek estetis: huruf-huruf yang dicetak di halaman kertas; “objek estetis” merupakan representasi artefak dalam pikiran pembaca atau dalam apa yang disebut collective consciousness ‘kesadsaran kolektif’ yang dalam suatu state kesadaran sekelompok manusia dapat disitematisasikan. Deanga demikian, sebuah artefak memiliki nilai potensial. Pembentukan objel estetis yang berdasarkan pada artefak terjadi dengan sarana peran serta aktif penerima. Pembentukan objek estetis yang mendasarkan diri pada artefak disebut concretization ‘konkretisasi’, istilah yang dibakukan oleh sarjana Polandia, roman Ingarden, dan diperkenalkan oleh Felix Vodicka dalam sekolah Praha. Mukarovsky yakin akan hubungan yang kuat antara “artefak” dan “objek estetis” untuk memutuskan nilai estetis.

Estetika resepsi secara ringkas dapat disebut sebagai ajaran yang menyelidiki teks sastra dengan dasar reaksi pembaca yang riil dan mungkin terhadap suatu teks sastra. Dalam pandangan Iser, tugas kritikus bukan menerangkan teks sebagai objek, melainkan lebih menerapkan efeknya kepada pembaca. Kodrat teks itulah yang mengizinkan beraneka-ragam kemungkinan pembacaan. Iser berkeyakinan bahwa teks sastra tidak dapat disamakan dengan objek-objek real dari dunia pembaca atau dengan berbagai pengalaman yang dimilikinya. Kurangnya keterikatan itu menghasilkan apa yang oleh Ingarden disebut inditerminasi; sedangkan secara sempit (internal) teks sastra dapat dikarakterisasi oleh gap-gap atau bagian-bagian inditerminasi. Inditerminasi ini dianggap sebgai elemen dasar dalam respons estetis. Dapat dikatakan bahwa dalam bagian-bagian itu merupakan faktor yang sangat penting dalam pengaruh yang dikeluarkan oleh teks. Semakin banyak tempat terbuka atau kosong itu, maka karya sastra makin bernilai. Namun, kekosongan tersebut tidak boleh terlalu banyak karena dapat membuat pembaca tidak bisa mengisinya dan menyebabkan kegelapan karya sastra.

Proses pemahaman sebuah karya sastra merupakan bolak-balik pembacaan untuk mengisi blank itu, sehingga seluruh perbedaan segmen dan pola dalam persfektif teks dapat dihubungkan menjadi satu kebulatan. Tempat terbuka itu terjadi karena sifat karya sastra yang asimetris, tidak berimbang teks dengan pembaca. Dapat disimpulkan bahwa teks bermakna bagi pembaca apabila teks dapat mengarahkan reaksi-reaksi pembaca terhadapnya. Selain itu teks yang memiliki gap-gap juga memiliki makna karena teks tersebut dapat memberikan makna kepada pambaca. Jika teks berubah, pikiran pembaca pun ikut berubah mengiungat makna diciptakan dari teks.

Dalam kondisi bagaimana teks bermakna bagi pembaca?

Istilah “pembaca” dapat dibagi menjadi “pembaca eksplisit” dan “pembaca nyata”. Pembaca eksplisit adalah pembaca yang dicipta sendiri oleh teks untuk dirinya dan menjadi “jaringan kerja struktur yang mengundang jawaban”, yang emmpengaruhi untuk membaca dalam cara tertentu. “Pembaca nyata” itu menerima citra mental tertentu dalam proses pembacaan; bagaimanapun juga, citraan itu akan secara tak terhindarkan diwarnai oleh “persediaan pengalaman yang ada”. Pengalaman pembaca akan berbeda sesuai dengan pengalaman-pengalaman masa lampau pembaca.

Tugas pembaca adalah mengisi gap-gap atau ruang kosong yang terdapat dalam teks. Cara pembaca mengisi tempat kosong tersebut sesuai dengan pengalaman pembaca. Selain itu, pembaca sebagai orang yang menetukan apakah teks tertentu memiliki kualitas pembeda yang penting untuk membedakannya secra cukup dari penggunaan bahasa dan konstruksi bahasa yang mendahuluinya. Sebagaia akibatnya Tynjanov menyebutkan bahwa tidak mungkin untuk menggambarkan definisi sastra yang jelas dan dapat membedakan teks sastra dan teks nonsastra.

Pembaca merupakan variabel yang tidak mapan. Paembaca dipengaruhi oleh berbagai situasi dalam menikmati karya sastra. Tujuh tesis Hans Robert Jauss sangat mempengaruhi kondisi atau situasi pembaca. Tujuh tesis Jauss tersebut sebagai berikut:

a. Dalam tesis yang pertama dijelaskan bahwa karya sastra bukalah objek yang dapat berdiri sendiri menawarkan pandangan kepada setiap pembaca dalam setiap periode. Namun, karya sastra lebih mirip sebagai orkesisasi yang selalu memberi resonansi-resonansi baru di antara para pembacanya. Karya sastra juga merupakan objek yang tidak dapat didefinisikan, tidak terbatas oleh waktu (selalu muncul setiap zaman), dan sebagai penciptaan dialog.

b. Tesis kedua berisi tentang horizon pembaca, cara mengidentifikasikan horizon pembaca, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Horizon harapan ini dapat diidentifikasi melalui norma yang sudah dikenal, hubungan implisit melalui karya sastra yang sudah dikenal, dan pertentangan antara fiksi dan realitas antara fungsi bahasa puitik dan bahasa sehari-hari.

c. Tesis ketiga dalah jarak estetik yang berisi tentang sanbutan pembaca terhadap perbedaan horizon dengan pemunculannya di dalam karya sastra yang baru. Sambutan pembaca dapat berupa: rekreasi, kritik, sambutan psikologis, dan penerbitan ulang.

d. Tesis keempat adalah semangat zaman yang berisi tentang perbedaan tanggapan pembaca terhadap suatu karya sastra seiring dengan perjalanan zaman. Semangat zaman ini dipengaruhi oleh pengalaman pembaca, horizon harapan, dan jarak estetik.

e. Tesis kelima adalah rangkaian sastra. Tesis ini menjelaskan tentang hubungan antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lainnya. Rangkaian itu menjawab suatu masalah dengan teks yang lain. Dalam hal ini posisi kesejarahan dan maknanya di dalam konteks pengalaman kesastraan dapat diketahui.

f. Tesis keenam dalah sinkronik dan diakronik. Hasil analisis sinkronik dan diakronik mengungkapkan perubahan minat estetik dan menemukan hubungan fungsional antara pemahaman karya baru dan makna karya sebelumnya.

g. Tesis yang terakhir adalah sejarah umum dan sejarah khusus. Fungsi sosial karya sastra muncul hanya bila pengalaman sastra pembaca memasuki horizon harapan sehingga memiliki pengaruh terhadap tindakan-tindakan sosialnya.

Penekanan Iser akhirnya fenomenologis: pengalaman pembacaan pembaca ada di pusat proses sastra. Dengan memecahkan kontradiksi di antara bermacam-macam sudut pandang yang berkembang dari teks itu atau dengan menghisi “kesenjangan” di antara sudut-sudut pandang dengan bermacam-cara, pembaca menyerap teks itu ke dalam kesadaran mereka dan membuatnya menjadi pengalaman mereka sendiri. Kesadaran pembaca yang ada akan membuat penyesuaian-penyesuaian terhadap kedalaman tertentu agar dapat menerima dan memproses sudut pandang asing yang dihadirkan teks ketika pembacaan terjadi. Situasi ini menghasilkan kemungkinan bahwa “pandangan dunia” pembaca sendiri mungkin dimodifikasi sebagai suatu hasil penghayatan, perjanjian, dan pelaksanaan unsur-unsur teks yang sebagian tidak ditentukan.

Jelaskan pengertian Id, Ego, dan Superego?

Id adalah segi kepribadian tertua, sistem kepribadian pertama, ada sejak lahir (bahkan mungkin sebelum tidur), diturunkan secara genetis, langsung berkaitan dengan dorongan-dorongan biologis manusia dan merupakan sumber/ cadangan energi manusia, sehingga dikatakan juga oleh Frued sebagai jembatan antar segi biologis dan psikis manusia. Id bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang amat primitif sehingga bersifat kaotik (kacau tanpa aturan), tidak mengenal moral, tidak memiliki rasa benar salah. Satu-satunya yang diketahui oleh Id adalah perasaan senang-tidak senang sehingga dikatakan bahwa Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle). Ia selalu mengejar kesenangan dan menghindar dari ketegangan. Untuk menjalankan fungsinya, Id memiliki dua mekanisme dasar,yaitu: gerakan-gerakan refleks dan proses primer. Walaupun demikian refleks tidak selalu efesien dalam meredakan ketegangan diperlukan proses di mana manusia membentuk citra dari objek yang berguna bagi pemuasan suatu kebutuhan mendasar.

Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada id dan harus mencari dalam realitas apa yang dibutuhkan Id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan. Dengan demikian, ego adalah segi kepribadian yang dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan serta mau menanggung ketegangan dalam batas tertentu. Berlawanan dengan Id yang bekerja berdasarkan prinsip realitas (reality principle), artinya ia dapat menunda pemuasan lain yang lebih sesuai dengan batasan lingkungan (fisik maupun sosial) dan hati nurani. Ego menjalankan proses sekunder (secondary process) artinya ia menggunakan kemampuan berpikir secara rasional dalam mencari pemecahan masalah terbaik.

Superego merupakan perwakilan dari berbagai nilai dan norma ada dalam masyarakat di mana individu itu hidup. Titik perkembangan yang amat penting dari superego adalah dilaluinya tahap oidipal dengan baik. Freud membagi soperego dalam dua subsistem yaitu hati nurani dan Ego ideal. Hti nurani diperoleh melalui penghukuman berbagai anak yang dinilai ‘jelek’ oleh orang-tua dan menjadi dasar bagi rasa bersalah (guilty feelings). Ego ideal adalah hasil pujian dan penghadiahan atas berbagai perilaku yang dinalai ‘abaik’ oleh orang-tua. Berbeda dengan Ego yang berpegnag pada prinsip realitas diri (self control) selalu akan menuntut kesempurnaan manusia dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Apakah yang dimaksud dengan feminisme liberal, radikal, marxis, dan sosialis?

Feminisme

Feminisme pada dasarnya adalah gerakan perjuangan persamaan hak perempuan agar sama (setara) dengan pria. Feminisme dilahirkan beberapa abad lalu di Barat, karena menilai ada ketidakadilan bagi kaum perempuan. Sumber ketidakadilan itu dinilai karena kuatnya dominasi laki-laki (patriarki).

Contoh dari ketidakadilan gender adalah adanya konsep pembagian peran yang mengatakan peran perempuan tempatnya di rumah (domestik) sementara peran pria di luar rumah (publik). Menurut kaum feminis, pembagian peran seperti itu sekedar konstruksi sosial yang tidak berkaitan sedikitpun dengan fisik (jenis kelamin). Kaum feminis menilai kaum perempuan menjadi tertindas dengan peran itu. Peran itu selama ini terpaksa dilakukan perempuan berhubung kuatnya dominasi laki-laki.

Cita-cita feminisme adalah kesetaraan (50:50) antara peran perempuan dengan pria di rumah, kantor, pemerintahan dan sebagainya. Pemikiran itulah yang mengilhami perlunya adanya kuota 30 persen bagi perempuan sebagai anggota legislatif kita yang muncul di era reformasi saat ini.

Feminisme Liberal,

Feminisme Liberal lahir pertama kali pada abad 18 dirumuskan oleh Mary wollstonecrat dalam tulisannya A Vindication of the Right of Women (1759-1799) dan� abad 19 oleh John Stuart Mill dalam bukunyaSubjection of Women dan Harriet Taylor Mills dalam bukunya Enfranchisemen of Women, kemudian pada abat 20 Betty Friedan dalam The Feminis Mistique dan The second Stage. Feminis Liberal ini mendasarkan pemikirannya pada konsep liberal yang menekankan bahwa wanita dan pria diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama dan juga harus mempunyai kesempatan yang sama. Manusia berbeda dengan binatang karena rasionalitas yang dimilikinya. Kemampuan rasionalitas tersebut mempunyai dua aspek yaitu –moralitas- pembuat keputusan yang otonom dan –prudensial- pemenuhan kebutuhan diri sendiri.

Hak individu bagi kaum Liberal harus diprioritaskan dari pada “kebaikan” . Setiap individu diberikan kebebasan untuk memilih apa yang “baik” untuk dirinya asal tidak merugikan orang lain. Liberalisme juga menekankan pada masyarakat yang adil yang memungkinkan setiap individu mempraktekkan otonomi dirinya dalam memenuhi kebutuhannya.

Dalan hal intervensi negara atas bidang publik (masyarakat sipil) Liberallis Klasik berbeda dengan Liberallis Egalitarian. Bagi Liberalis Egalitarian setiap orang yang memasuki pasar terlebih dahulu mempunyai,keuntungan material, koneksi atau bakat yang berbeda. Apabila perbedaan tersebut sangat besar maka sulit bagi mereka untuk mengejarnya.Oleh sebab itu Negara harus intervensi secara positif agar kesejahteraan masyarakat merata. Intervensi di bidang hukum, pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, kesejahteraan sosial dan penyediaan makan bagi orang miskin. Bagi Liberallis ini negara sebaiknya menfokuskan pada keadilan ekonomi bukan kebebasan sipil.

Sedangkan Liberallis Klasik dalam era pasar bebas setiap individu harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengakumulasi keuntungannya. Mereka juga� menekankan bahwa negara harus melindungi kebebasan sipil seperti, hak memilih, hak berorganisasi, hak kepemilikan dan kebebasan

Akan tetapi dalam hal intervensi negara untuk menjamin hak individu, kaum liberallis sepakat bahwa intervensi negara harus seminim mungkin. Baik dalam aspek negara, organisasi, keluarga sampai ke tempat tidur.

Feminis Liberal abad 18

Pendidikan yang sama untuk perempuan

Mary Wollstonecraft, dalam bukunya A Vindication of the Right of Women menggambarkan masyarakat Eropa yang sedang mengalami kemunduran dimana perempuan dikekang didalam rumah tidak diberikan kesempatan untuk masuk dipasar tenaga kerja dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan laki-laki diberikan kebebasan untuk megembangkan diri seoptimal mungkin. Padahal kalau perempuan diberikan kesempatan yang sama juga bisa mengembangkan diri secara optimal, asal perempuan juga diberikan pendidikan yang sama dengan pria.

Wollestone juga mengkritik Email, novel karya Jean Jackques Rosseau yang membedakan pendidikan laki-laki dan perempuan. Pendidikan laki-laki lebih menekankan rasionalitas yang mempelajari ilmu alamiah, ilmu social dan humaniora-karena nantinya akan bertanggung jawab sebagai kepala keluarga sedangkan pendidikan untuk perempuan lebih menekankan pada emosional (mempelajari puisi, seni) karena perempuan akan menjadi istri yang penuh pengertian, responsive, perhatian dan keibuan. Jalan keluar yang ditawarkan wollestone adalah mendidik perempuan sama dengan mendidik laki-laki dengan mengajarkan kepada perempuan juga rasionalitas sehingga perempuan mampu menjadi “diri sendiri” tidak menjadi “mainan laki-laki”.

Feminis Liberal abad 19

Kesempatan hak Sipil dan Ekonomi bagi perempuan dan laki-laki

Satu abad kemudian J S Mill dan Harriet Tailor Mill bergabung dengan Wollestonecraft. Yang menekankan pentingnya rasionalitas untuk perempuan. J S Mill dan harriet Tailor Mill lebih jauh menekankan agar persamaan permpuan dan laki-laki terwujud, tidak cukup diberikan pendidikan yang sama tetapi juga harus diberikan kesempatan untuk berperan dalam ekonomi dan dijamin hak sipilnya yang meliputi hak untuk berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat, hak untuk memilih dan hak milik pribadi serta hak-hak sipil lainnya.

Sumbangan lain pemikiran mereka berdua adalah dua-duanya menekankan pentingnya pendidikan, Kemitraan dan Persamaan. Mill lebih menekankan pada pendidikan dan hak, sedangkan Taylor lebih menekankan kemitraan. Mill lebih jauh juga mempertanyakan superioritas laki-laki, menurutnya bahwa laki-laki itu tidak lebih superior secara intelektual dari perempuan. Pemikiran Mill yang juga menarik bahwa kebajikan yang ditempelkan pada perempuan seringkali merugikan perempuan karena perempuan tidak bisa menjadi diri sendiri, sebab ia akan menjadi orang yang dikehendaki masyarakat.

Feminisme Liberal abad 20

The Feminis Mistique yang ditulis oleh Betty Frieden, bila kita bandingkan dengan buku yang ditulis sebelumnya oleh Wollestone, JS Mills dan Harriet Tylor terkesan tidak radikal. Menurut Betty perempuan kelas menengah yang menjadi ibu rumah tangga merasa hampa dan muram, sehingga mereka menghabiskan waktunya ntuk berbelanja, mempercantik diri, bagaimana memuaskan nafsu suami dsb. Jalan keluar yang ditawarkan Frieden adalah kembali ke sekolah dan berkontribusi dalam ekonomi keluarga dengan tetap berfungsi sebagai ibu rumah tangga dengan masih tetap mencintai suami dan anak. Frieden meyakini bahwa karier dan rumah tangga bisa berjalan seiring.

Baru duapuluh tahun kemudian ia menyadari dalam bukunya The Second Stage bahwa mmenangani karier dan rumah tangga sangat sulit.karena dia harus melayani dua majikan suaminya dan atasannya di kantor. Ia memberikan jalan keluar bahwa perempuan harus melakukan pergerakan sehingga menyadari keterbatas-keterbatasan dirinya yang diciptakan masyarakat sehingga bisa memperbaiki kondisi. Bekerja sama dengan laki-laki untuk merubah pola pikir masyarakat pada bidang publik (kepemimpinan, struktur institusi) dan privat suami mulai ikut memikul beban keluarga yaitu ekonomi, rumah dan anak-anak. secara bersama.perempuan.

Arah Feminis Liberal

Feminis Liberal menginginkan terbebasnya perempuan dari peranan gender yang opresif. Mereka berargumentasi bahwa dalam masyarakat yang patriarkhi pekerjaan yang cocok untuk� perempuan diasosiasikan pada sifat feminine seperti guru, perawat, sekretaris, kasir di bank dsb. Penentangan stereotipe tersebut harus melalui pendidikan� androgini� -yang mempunyai dimensi laki dan perempuan- baik disekolah maupun dirumah. Androgini telah membantu mereka dalam meraih kebebasan, persamaan hak dan keadilan.

Negara ikut bertanggung jawab untuk menjamin tidak ada lagi diskriminasi pada perempuan baik seksual maupun penghasilan dan menjamin perempuan terbebas dari pelecehan seksual, pemerkosaan dan kekerasan. Feminis Liberal sangat penting dalam pergerakan feminisme dengan perjuangannya untuk perempuan dibarat untuk meraih persamaan hak, peniadaan diskriminasi ditemapt kerja dan perubahan hukum yang lebih menguntungkan perempuan.

Kritik pada Feminis Liberal

Kritik pertama

Jean Bethke Elshtain dalam bukunya A Political Theorist. Mengkritik bahwa semua perempuan ingin menjadi seperti laki-laki, mengadopsi sifat laki-laki –mengutamakan rasionalitas tidak boleh menunjukan emosionalnya- untuk mengurangi ketertindasannya. Menurut Elshtain perempuan tidak boleh mengadopsi cara berpikir laki-laki, Perempuan mempunyai cara berpikir sendiri yang bisa dipertahankan. Laki-laki maupun berempuan harus mengadopsi dua-duanya baik cara berpikir laki maupun perempuan. Kita tidak boleh mendikotomikan nurture dan nature.

Perubahan tidak bisa dilakukan hanya melalui kelompok-kelompok kecil. Karena kalau dalam kelompok-kelompok kecil justru akan menghancurkan kumunalitas. Padahal untuk melobi pemerintah harus melalui gerakan massa (komunal) untuk itu penting sekali adanya committee organizer yang bisa mengorganisasi masa.

Kritik ke dua

Dalam Feminist Politics and Human Nature, Alison Jaggar menformulasikan kritik yang kedua, seperti Elshtain jaggar juga mengkritik feminis liberal bahwa perempuan harus mengadopsi nilai laki-laki yaitu rasionalitas dan otonomi. Sedangkan menurut Jaggar kita tidak boleh mendikotomi nilai laki-laki dan perempuan justru laki-laki dan perempuan harus mengadopsi nilai kedua-duanya secara seimbang.

Jaggar juga mengkritik feminis leberal yang melihat perempuan itu satu, padahal menurut Jaggar perempuan itu tidak satu tapi bermacam-macam. Sehingga tidak bisa hanya melalui pendidikan dan dianggap akan menyelesaikan seluruh persoalan perempuan. Karena perempuan berbeda-beda keberadaannya maka strategi pemecahannyapun juga harus berbeda-beda pula.

Kritik ke tiga

Feminis Liberal telah menjenalisir perempuan itu sama, pada hal perempuan itu tidak hanya perempuan kulit putih, heteroseksual dan kelas menengah, dan dari kelompok yang terpelajar,tetapi juga ada PSK, buruh, ada perbedaan suku/budaya, agama sehingga, penyebab ketertindasan perempuanpun juga tidak satu dan tentu strategi pemecahan masalahnyapun tidak bisa sama. Misalnya : perempuan kulit putih dari kelas menengah tentu berbeda dengan perempuan kulit hitam dari kelas bawah.

Feminisme Radikal

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 70-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".

Manifesto feminisme radikal yang diterbitkan dalam Notes from the second sex (1970) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk penindasan perempuan, sehingga tugas utama feminis radikal adalah menolak intuisi keluarga. Bagi mereka keluarga dianggap sebagai intuisi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki) sehingga perempuan tertindas.

Bagi mereka keterlepasan hubungan perempuan dari laki-laki atau paling sedikit pemisahan perasaan, dengan jalan mengembangkan kesanggupan untuk berdiri sendiri adalah solusi untuk mengangkat derajat perempuan. Menurut mereka selama hubungan itu masih terjalin perempuan tidak akan mungkin mampu melawan laki-laki dan tetap tertindas. Hal ini disebabkan karena ada korelasi negatif antara kebutuhan untuk mendapat persamaan dengan kesempatan untuk saling mencintai.
Bagi kaum feminis radikal,personal is political,dimana revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan hanya dapat terjadi pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri. Feminis radikal ekstrim menganggap perempuan lesbian adalah perempuan mandiri yang telah terbebas dari dominasi laki-laki.

Pemikiran-pemikiran feminisme radikal cultural

Marilyn French mengatribusikan perbedaan laki-laki dan perempuan lebih kepada biologi daripada kepada sosialisasi. Dalam bukunya Beyond Power , French mengisyaratkan bahwa sifat tradisional perempuan lebih baik daripada sifat tradisional laki-laki. Stratifikasi laki-laki yang di atas perempuan pada gilirannya mengarahkan kepada stratifikasi kelas. French mengklaim, bahwa nilai-nilai feminim harus direintegrasikan ke dalam masyarakat laki-laki yang telah diciptakan oleh ideologi patriakal. Bagi French, masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang androgin. French menekankan bahwa adalah baik bagi manusia untuk mempunyai kuasa dan juga kenikmatan di dalam hidup mereka, asalkan kuasa yang muncul bukan sebagai hasrat untuk menghancurkan (power over), tetapi lebih sebagai hasrat untuk mencipta (power to).

Mary Daly, merendahkan nilai-nilai maskulin tradisional. Dalam bukunya Beyond God The Father, Mary Daly menolak istilah maskulin dan feminin secara keseluruhan, sebagai produk kebingungan patriarki. Daly menyimpulkan bahwa perempuan harus menolak apa yang tampaknya merupakan aspek “baik” dari feminitas, dan juga menolak aspek yang sudah jelas-jelas “buruk” karena kesemua itu merupakan “konstruksi yang dibuat laki-laki”, yang dibentuk untuk kepentingan menjebak perempuan di dalam penjara patriarki yang dalam.

Daly menjelaskan lebih jauh bahwa, laki-laki ingin menjadi androgin agar dapat menyerap atau bahkan memakan segala sesuatu tentang perempuan dan menyedot energi perempuan ke dalam tubuh dan pikiran mereka. Perempuan harus menenun pemahaman diri yang baru, tetap terpisah secara radikal dari laki-laki, dan dengan demikian dapat menyimpan energinya untuk kepentingan sendiri.

Feminis radikal kultural yakin bahwa sumber utama kekuatan perempuan ada pada kekuatan mereka untuk menghadirkan kehidupan baru. Bagi feminis radikal kultural, kunci pembebasan perempuan adalah dengan menghapuskan semua institusi patriakal ( misalnya industri pornografi, keluarga, prostitusi dan heteroseksualitas yang diwajibkan).

KEKUATAN DAN KELEMAHAN BEBERAPA TEORI FEMINIS RADIKAL

Pendapat Kate Millet tentang sex adalah politis, menurut saya memberikan kekuatan kepada perempuan untuk menggunakan keunikan tubuhnya sebagai alat bargainning. Oleh karena itu pendapat Firestone tentang perlunya revolusi biologis, menurut saya tidaklah penting, revolusi sosial menjadi penting untuk membebaskan manusia dari cara pandang atau cara pikir yang salah tentang hubungan laki-laki dan perempuan dalam menentukan kehidupan. Ide tentang reproduksi buatan justru melemahkan perempuan, menciptakan kecemburuan antara perempuan, dan merenggangkan tali persaudaraan diantara perempuan.

Daly terlalu percaya diri bahwa perempuan hanyalah manusia satu-satunya yang terbaik. Tidak semua perempuan ”baik” dan tidak semua laki-laki ” buruk”. Dengan cara pandang seperti itu, Daly justru menciptakan ketidakseimbangan yang dapat memicu permusuhan antar kelas. Daly seharusnya dapat bercermin pada French, yang menekankan bahwa adalah baik bagi manusia untuk mempunyai kuasa dan juga kenikmatan di dalam hidup mereka, asalkan kuasa yang muncul bukan sebagai hasrat untuk menghancurkan (power over), tetapi lebih sebagai hasrat untuk mencipta (power to).

Feminisme Marxis

Tak seperti feminisme liberal, feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme hanya dapat membuat “sukses” untuk sejumlah kecil perempuan. Dan sejarahnya ia hanya membuat demikian dibawah tekanan dari bawah. Kesetaraan penuh bagi semua perempuan tak bisa dicapai di bawah kapitalisme. Pembebasan individual adalah mustahil karena seksisme adalah persoalan sosial yang berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan dalam kapitalisme.

Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang berkuasa yang memiliki semua sumber ekonomi dan industri, diluar kita semua yang dipaksa untuk kerja upahan untuk hidup-kelas pekerja. Sistem ini alat untuk kebutuhan minoritas, untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas. Dan setiap institusi besarnya mendukung bahwa: pemerintah, keluarga, media, polisi, sistem pendidikan, dan sistem legal.

Perjuangan seputar aspek-aspek spesifik dari penindasn perempuan memerlukan terlibatnya perempuan dari latar sosial berbeda. Tetapi gerakan masa pembebasan perempuan Marxis bertujuan untuk mendirikan akan menjadi dasar kelas pekerja dalam komposisi,orientasi, dan kepemimpinan karena hanya sebuah gerakan bisa meraih pembebasan perempuan sejati.

Gerakan feminis massa, yang berjuang bagi kesetaraan bagi semua perempuan, tak dapat dihindarkan lagi membutuhkan reorganisasi total dalam masyarakat dalam kepentingan minoritas, yaitu membuka kapitalisme.

Sebuah gerakan akan menuntut: hak bagi perempuan untuk mengontrol tubuh mereka sendiri: legal penuh, kesamaan politik dan sosial; hak untuk merdeka secara ekonomi dan kesetaraan, kesempatan studi yang setara,hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi, dan bebas dari penindasan seksualitas manusia.

Hanya masyarakat sosialis yang bisa memenuhi tuntutan ini: memindahkan paksaan ekonomi dibalik perbudakan perempuan dalam keluarga; mengambil pertanggung-jawaban sosial bagi tugas-tugas yang tadinya dilakuak dengan gratis oleh perempuan dalam rumah; memindahkan eksploitasi kelas.

Dibawah sosialisme sebagian besar manusia baik perempuan atau laki-laki akan menikmati eliminasi penindasan perempuan sebagaimana masih akan membiarkan perkembangan penuhhubungan kebutuhan manusia bebasa dari distorsi seksisme dan pengasingan seksualitas yang dibuat oleh masyarakat kelas.

Dalam teori ekonomi Marxis, feminis Marxis percaya bahwa pekerjaan perempuan membentuk pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga sifat-sifat alamiah perempuan. Mereka juga percaya bahwa kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan yang eksploitatif (majikan mempunyai kekuasaan yang lebih besar, mengkoersi pekerja untuk bekerja lebih keras) dan hubungan pertukaran (bekerja untuk upah, hubungan yang diperjualbelikan).

Feminisme Marxis menolak hubungan kontraktual antara pekerja dan majikan. Marx memandang bahwa tidak ada pilihan bebas yang dapat diambil oleh pekerja. Majikan mempunyai monopoli alat produksi, karena itu pekerja harus memilih antara dieksploitasi atau tidak punya pekerjaan sama sekali. Atas dasar pemikiran ini, feminis Marxis berpendapat bahwa pada kondisi dimana seseorang tidak mempunyai hal berharga untuk dijual lagi lebih dari dan diluar tubuhnya, kekuatan tawarnya di pasar menjadi terbatas.

Teori politik marxis juga menawarkan suatu analisis kelas yang memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang mengopresinya. Marxisme berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki dapat bersama-sama membangun struktur sosial dan peran sosial yang memungkinkan kedua gender untuk merealisasikan potensi kemanusiaannya secara penuh.

Friedrich Engels dalam bukunya The Origin of the Family, menekankan bahwa ketika seorang laki-laki mengambil seorang perempuan, ia kemudian hidup di dalam rumah tangga si perempuan, Engels memaknai keadaan ini bukan sebagai tanda subordinasi perempuan, melainkan sebagai tanda kekuatan ekonomi perempuan. Engels berspekulasi bahwa masyarakat berpasangan mungkin bukan hanya matrilinear, tetapi juga matriakal, masyarakat yang didalamnya perempuan mempunyai kekuatan ekonomi, sosial, dan politik. Point utamanya, tetap bahwa apapun status perempuan di masa lalu, status itu diperoleh dari posisinya di dalam rumah tangga, pusat produksi primitif. Sejalan dengan mulainya produksi di luar rumah yang melampaui produksi di dalam rumah, pembagian kerja tradisional berdasarkan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, mempunyai makna sosial baru. Dengan semakin dianggap pentingnya pekerjaan dan produksi laki-laki, bukan saja nilai dan pekerjaan serta produksi perempuan menurun, melainkan status perempuan di dalam masyarakat juga menurun. Dalam tatanan keluarga baru inilah, menurut Engels, suami berkuasa atas dasar kekuatan ekonominya.

Menurut Margareth Benston, perempuan pada awalnya adalah produsen dan hanya merupakan konsumen sekunder. Sesungguhnya perempuan merupakan kelas yaitu kelas manusia yang bertanggung jawab atas produksi nilai guna sederhana dalam kegiatan yang diasosiasikan dengan rumah dan keluarga. Kunci bagi pembebasan perempuan adalah sosialisasi pekerjaan rumah tangga. Menurut Benston, memberikan peluang bagi seorang perempuan untuk memasuki industri publik tanpa secara bersamaan mensosialiasikan pekerjaan domestik berarti menjadikan kondisi perempuan lebih teropresi.

Kelemahan dan kekuatan Teori Marxis

Feminis Marxis beranggapan bahwa opresi di tempat kerja lebih utama daripada opresi perempuan. Kelas lebih penting daripada gender, karena itu feminis Marxis tidak melihat adanya opresi yang dapat terjadi pada perempuan pekerja di tempat kerja. Teori feminis marxis cenderung buta gender. Teori feminis Marxis belum menjelaskan secara lengkap opresi yang terjadi di dalam keluarga (terhadap istri, anak dan suami), sebagai akibat dari posisi mereka sebagai pekerja di tempat kerja.

Kekuatan teori feminis Marxis, melihat tingkatan opresi dari berbagai sudut politik, masyarakat, ekonomi dan tentang manusia. Cita-cita Marxis untuk menciptakan dunia yang nyaman bagi perempuan, agar perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia yang utuh dan terintegrasi bukan terfragmentasi. Dengan adanya cita-cita ini dapat menginspirasi perempuan dari berbagai kelas untuk menyatukan kekuatan atas dasar opresi yang sama sebagai kesadaran penuh untuk merebut kebahagiaan bersama.

Feminisme sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Sebuah faham yang berpendapat “Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan baha patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Feminis sosialis pada umumnya merupakan hasil ketidakpuasan feminis Marxis atas pemikiran Marxis yang buta gender dan kecenderungan Marxis untuk menganggap opresi terhadap perempuan jauh di bawah pentingnya opresi terhadap pekerja. Feminis sosialis mengklaim bahwa kapitalis tidak dapat dihancurkan kecuali patriarki juga dihancurkan dan bahwa hubungan material dan ekonomi manusia tidak dapat berubah kecuali jika ideologi mereka juga berubah. Perempuan harus menjalani dua perang, untuk dapat terbebas dari opresi.

Seorang feminis sosialis kontemporer, Iri Young mentransformasi teori feminis Marxis menjadi teori feminis sosialis yang mampu membahas seluruh kondisi perempuan yaitu posisi perempuan di dalam keluarga dan tempat kerja, peran reproduksi dan seksual perempuan, dan juga peran produktif perempuan.

Kelemahan dan kekuatan teori feminis sosialis

Feminis sosilais tidak menekankan peran ras dan umur yang bermain dalam sistem kesejahteraan sebagai hal yang dapat menjadi alasan opresi terhadap perempuan, sebagai contoh pada ras dan umur perempuan afrika yang harus melewati rintangan birokrasi yang panjang .

Feminis sosialis menganalisis lebih jeli tentang opresi perempuan di dalam keluarga dan posisi subordinat perempuan akibat sistem patriarki, bukan semata-mata karena sistem kapitalis. Sistem kapitalis dapat dihancurkan jika sistem patriarki turut dihancurkan. Perlu adanya revolusi Marxis untuk menghancurkan masyarakat kelas dan revolusi feminis untuk menghancurkan sistem sex/gender ( Juliet Mitchel dalam bukunya Woman’s state).

Oleh :

Ika Kurniawati

C0206025

2008

Tidak ada komentar: